Tuhan menciptakan manusia dengan sempurna. Oleh karena itu, manusia disebut makhlukNya yang paling sempurna. Bisa merasa karena punya perasaan dan berpikir karena punya alat untuk berpikir, otak. Manusia bisa menggunakan otaknya untuk menentukan mana yang baik dan buruk dan mana yang boleh dan dilarang. Manusia bisa memilih. Itulah perbedaan manusia dengan hewan, walaupun sama-sama punya otak. Dengan fakta itulah, seharusnya tidak ada lagi yang namanya iri pada diri manusia, karena toh mereka terlahir dengan kesempurnaan.
Tapi coba lihat sekeliling kita, kesempurnaan seperti apa yang diinginkan dan dicari oleh manusia yang selalu tidak pernah merasa cukup atas segala kesempurnaan yang dibawanya semenjak mereka membuka mata di dunia baru ini? Padahal dunia ini hakikatnya adalah dunia fana tempat mereka menebus segala kesalahan si pendahulu. Sedangkan, beberapa diantara mereka, ada yang harus menanggung beban yang tidak mereka minta sejak lahir. Ketidaksempurnaan yang harus ditanggungnya seumur hidup dengan segala cela, caci maki dan ketidakmampuan untuk melakukan segala hal yang mereka layak dapatkan. Lalu, beberapa diantara mereka malah dapat mengilhami para sempurna dengan keikhlasannya, kebesaran, kelapangan, dan kerendahan hatinya bahkan semangat hidupnya yang luar biasa!.
'Yaaahh namanya juga manusia....'. Itu dia yang sering digaungkan atas nama pemberian alasan karena harus mengakui kesalahan. Berbuat salah? Tindakan yang wajar. Memperbaikinya adalah kewajiban dan berusaha menghindarinya adalah sebuah usaha yang harus terus dilakukan. Si penulis ini juga manusia, jadi alangkah baiknya apabila sekarang menempatkan dirinya dalam kategori ini. Lebih baik memakai 'kita'. Selain otak untuk berpikir, tentu kita tidak lupa bahwa ada satu bagian lagi dalam hidup kita yaitu hati untuk merasa. Merasa sedih, senang, kaget entah itu mendengar kabar menggembirakan atau menyedihkan, khawatir, marah, kecewa, iri, terkucilkan, dan sebagainya. Keseluruhan rasa itu datang sebagai reaksi dari peristiwa tertentu. Wajar? Tentu saja!. Tidak ada keraguan untuk itu. Tapi bisakah mengendalikannya? Bisa! Lalu dengan apa? Dengan bersyukur kepada Si Pemberi Nikmat, Tuhan Y.M.E. Pernah sekali saya mendengar dakwah dari Ustadzah di salah satu stasiun TV swasta, beliau mengatakan kurang lebih seperti ini,
Pengendalian diri dibutuhkan untuk menghalau rasa-rasa negatif itu. Maka alangkah bijaksana apabila setiap manusia percaya bahwa Tuhan Maha Adil dan akan memberikan apa yang pantas diberikan kepada manusia berdasarkan seberapa besarnya usaha manusia itu sendiri untuk dipantaskan dalam menerima kesempatan itu.
Ingin sekali saya bisa bersyukur atas segala hal yang saya terima dan miliki di dunia terlepas dari adanya ketidakadilan yang saya temui dan rasakan. Melihat orang lain yang sudah bahagia dan mereka dibahagiakan lagi, orang yang mampu namun dimampukan lagi, diberikan nikmat yang berlipat-lipat, keberuntungan yang tiada batas, bukanlah sesuatu yang begitu saja dapat diterima oleh perasaan. Tapi mudah-mudahan dengan selalu mengingat bahwa Tuhan Maha Adil dan manusia diberikan pilihan untuk bersyukur, maka hal-hal itu dapat dihindari. Amin.
Tapi coba lihat sekeliling kita, kesempurnaan seperti apa yang diinginkan dan dicari oleh manusia yang selalu tidak pernah merasa cukup atas segala kesempurnaan yang dibawanya semenjak mereka membuka mata di dunia baru ini? Padahal dunia ini hakikatnya adalah dunia fana tempat mereka menebus segala kesalahan si pendahulu. Sedangkan, beberapa diantara mereka, ada yang harus menanggung beban yang tidak mereka minta sejak lahir. Ketidaksempurnaan yang harus ditanggungnya seumur hidup dengan segala cela, caci maki dan ketidakmampuan untuk melakukan segala hal yang mereka layak dapatkan. Lalu, beberapa diantara mereka malah dapat mengilhami para sempurna dengan keikhlasannya, kebesaran, kelapangan, dan kerendahan hatinya bahkan semangat hidupnya yang luar biasa!.
'Yaaahh namanya juga manusia....'. Itu dia yang sering digaungkan atas nama pemberian alasan karena harus mengakui kesalahan. Berbuat salah? Tindakan yang wajar. Memperbaikinya adalah kewajiban dan berusaha menghindarinya adalah sebuah usaha yang harus terus dilakukan. Si penulis ini juga manusia, jadi alangkah baiknya apabila sekarang menempatkan dirinya dalam kategori ini. Lebih baik memakai 'kita'. Selain otak untuk berpikir, tentu kita tidak lupa bahwa ada satu bagian lagi dalam hidup kita yaitu hati untuk merasa. Merasa sedih, senang, kaget entah itu mendengar kabar menggembirakan atau menyedihkan, khawatir, marah, kecewa, iri, terkucilkan, dan sebagainya. Keseluruhan rasa itu datang sebagai reaksi dari peristiwa tertentu. Wajar? Tentu saja!. Tidak ada keraguan untuk itu. Tapi bisakah mengendalikannya? Bisa! Lalu dengan apa? Dengan bersyukur kepada Si Pemberi Nikmat, Tuhan Y.M.E. Pernah sekali saya mendengar dakwah dari Ustadzah di salah satu stasiun TV swasta, beliau mengatakan kurang lebih seperti ini,
"Allah SWT akan memberikan ujian kepada umatNya yang beriman dan bertaqwa kepadaNya, lalu akan memberikan cobaan kepada umatNya yang masih setengah-setengah dan sebuah azab bagi mereka yang tidak beriman dan bertaqwa kepadaNya."
Pengendalian diri dibutuhkan untuk menghalau rasa-rasa negatif itu. Maka alangkah bijaksana apabila setiap manusia percaya bahwa Tuhan Maha Adil dan akan memberikan apa yang pantas diberikan kepada manusia berdasarkan seberapa besarnya usaha manusia itu sendiri untuk dipantaskan dalam menerima kesempatan itu.
Ingin sekali saya bisa bersyukur atas segala hal yang saya terima dan miliki di dunia terlepas dari adanya ketidakadilan yang saya temui dan rasakan. Melihat orang lain yang sudah bahagia dan mereka dibahagiakan lagi, orang yang mampu namun dimampukan lagi, diberikan nikmat yang berlipat-lipat, keberuntungan yang tiada batas, bukanlah sesuatu yang begitu saja dapat diterima oleh perasaan. Tapi mudah-mudahan dengan selalu mengingat bahwa Tuhan Maha Adil dan manusia diberikan pilihan untuk bersyukur, maka hal-hal itu dapat dihindari. Amin.